Laluaku meminta izin kepada Beliau dan Beliau mengizinkan aku". Dan Kami tidak menciptakan langit & bumi & apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. Sad [38]: 27. Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak ('Arafah) & mohonlah ampun kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang Mataharisetiap harinya meminta izin kepada allah untuk terbit dari timur, sampai ketika sudah waktunya maka allah tidak mengizinkan matahari untuk terbit dari timur. "antara terbitnya matahari dari barat dan keluarnya seekor hewan melata dari bumi ini jaraknya sangat dekat. Dan menyuruhnya kembali ke tempat dia datang, yaitu arah barat KisahNabi Sulaiman yg meminta izin kepada allah untuk memberikan makan semua mahluk di bumi Maman apa yg terjadi.? Simak kisahnya di bawah ini. Jangan Aku (tadi) meminta izin kepada Umar hingga tiga kali, namun ia tidak memberiku izin, maka aku hendak kembali pulang, lalu Umar bertanya: Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit & apa-apa yang ada di bumi. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. ― QS. Ali 'Imran [3]: 29. Tidak ada satu hari pun yang berlalu melainkan laut meminta izin kepada Rabb-Nya untuk menenggelamkan Bani Adam." Sementara Allah SWT. berfirman: "Biarkanlah hamba-Ku. Aku lebih tahu tentang dirinya ketika Aku menciptakannya dari tanah. Andaikan ia hamba kalian, maka urusannya terserah kalian. بِسْمِاللهِ تُرْبَةُ أَرْضِنَا بِرِيْقَةِ بَعْضِنَا يُشْفىَ سَقِيْمُنَا بِإِذْنِ رَبِّنَا (Bismillah/Demi Nama Allah dengan Tanah Bumi Kami, dengan air liur sebagian dari kami, sembuhlah yg sakit dari kami, dengan izin Tuhan Kami) Lantas menempelkan ibu jarinya di lidahnya, kemudian menyentuhkannya ke bumi lalu mengusapkannya pada yang sakit. Telahkita ketahui bersama bahwa syafa'at adalah milik Allah, maka meminta kepada Allah hukumnya disyariatkan, yaitu meminta kepada Allah agar para pemberi syafa'at diizinkan untuk mensyafa'ati di akhirat nanti. Seperti, "Ya Allah, jadikanlah Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam pemberi syafa'at bagiku. Sabarmuatas Izin Allah, Tetaplah Bermohon kepada-Nya. Novi Amanah Sen 15 Muharram 1443, 23- 08- 2021. 333. AsSAJIDIN.COM — Sabar sebuah yang kata mudah diucapkan namun belum tentu semua manusia mampu melakukannya tanpa izin Allah Ta'ala, termasuk dalam urusan ibadah. bGVBeX. Apa yang kita butuhkan dari langit, diturunkanlah hujan. Apa yang kita butuhkan dari bumi, ditumbuhkanlah tumbuh-tumbuhan. Semuanya milik Allah. Karena itu, mintalah kepada pemilik bumi dan langit. Sebagaimana firman Allah dalam kisah Ibrahim إِنَّ الَّذِينَ تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَا يَمْلِكُونَ لَكُمْ رِزْقًا فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ “Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezeki kepadamu; maka mintalah rezeki itu di sisi Allah”. al-Ankabut 17 Dia-lah pemilik sekaligus penguasa bumi dan langit. Maka beruntunglah orang yang hanya meminta kepada Allah karena Dia-lah Yang Maha Memiliki. Namun, betapa sengsaranya orang yang meminta kepada makhluk, yang tidak memiliki apa-apa. Inilah konsep kepemilikan yang sesungguhnya. Semua yang ada di bumi ini adalah milik Allah SWT termasuk kita dan apa yang ada di sisi kita. Selain Allah, tidak ada yang memiliki, dan Allah Ta’ala tidak membutuhkan semua itu. Pada pembahasan keempat ini, kita membahas firman Allah SWT yang ada dalam Ayat Kursi, yakni لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ Artinya, Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Ayat ini memberitakan, semuanya adalah hamba-hamba-Nya, berada dalam kekuasaan-Nya dan di bawah pengaturan dan pemerintahan-Nya. Perihalnya sama dengan makna yang ada dalam ayat lain, yaitu firman-Nya “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. Sesungguhnya Allah telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri”. QS Maryam93-95 لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ setelah lafadzh لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ adalah kata مَا yang menunjukkan keumuman, yaitu semua yang ada di langit dan yang ada di bumi milik Allah semata. Semuanya adalah makhluk atau ciptaan Allah Ta’ala. Karena semua yang ada di bumi dan di langit adalah milik Allah, maka semuanya juga bergantung kepada Allah sebagai pemberi rezekinya. Karena itu, barangsiapa yang ingin kebutuhannya dimudahkan dan kehidupannya dicukupkan, mantapkanlah diri kepada Allah Ta’ala. Selanjutntya, firman Allah SWT مَنْ ذَا الَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهٗٓ اِلَّا بِاِذْنِهٖۗ Artinya, “Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya?” Artinya, tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya kecuali dengan izin-Nya. Syafaat adalah pertolongan. Satu-satunya cara untuk mendapatkan pertolongan Allah adalah dengan izin-Nya. Karena hanya Allah Ta’ala yang memiliki langit dan bumi, maka hanya Allah pula yang bisa memberikan syafaat atau pertolongan. Dalam perkara kecil pun, ingat Allah dan mohonlah pertolongan-Nya. Dalam ayat yang lain, Allah SWT berfirman “Dan berapa banyak malaikat di langit, syafaat mereka sedikit pun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridai-Nya. QS An Najm 26 Allah SWT juga berfirman “dan mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridai Allah”. QS Al-Anbiyaa28 Demikianlah keagungan, kebesaran, dan ketinggian Allah Ta’ala, hingga tidak ada seorang pun yang berani memberikan syafaat kepada seseorang di sisi-Nya melainkan dengan izin dari-Nya. Seperti hal yang disebutkan di dalam hadis mengenai syafaat, Rasulullah SAW bersabda “Aku datang ke bawah Arasy, lalu aku menyungkur bersujud, dan Allah membiarkan diriku dalam keadaan demikian menurut apa yang dikehendaki-Nya. Kemudian Dia berfirman, Angkatlah kepalamu dan katakanlah apa yang engkau kehendaki, niscaya kamu didengar, dan mintalah syafaat, niscaya kamu diberi izin untuk memberi syafaat.” Nabi SAW melanjutkan kisahnya, “Kemudian Allah memberikan suatu batasan kepadaku, lalu aku masukkan mereka ke dalam surga.” As-Sa’di mengatakan, Dia-lah Raja segala raja dan Dia-lah yang memiliki segala sifat raja, pengaturan, kekuasaan, dan kesombongan, dan dari kesempurnaan kerajaan-Nya. Tidak ada yang dapat “memberi syafaat di sisi Allah,” yakni tak seorang pun, “kecuali dengan izin-Nya.” Setiap pemuka kaum dan para pemegang syafa’at adalah hamba-hamba bagi-Nya dan budak-budak-Nya, di mana mereka tidak melakukan syafaat hingga mereka diizinkan untuk itu. Allah berfirman “Katakanlah “Hanya kepunyaan Allah syafa’at itu semuanya. Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan”. QS Az-Zumar 44 Dan Allah tidak memberikan izin kepada seorang pun untuk memberikan syafaat kecuali bagi mereka yang Dia ridhai, dan Dia tidak meridhai kecuali mereka yang mentauhidkan-Nya dan mengikuti Rasul-Nya. Intinya, tidak seorang pun dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Syafaat itu semuanya milik Allah. Akan tetapi, Allah SWT apabila hendak merahmati hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya, Dia mengizinkan kepada orang yang hendak dimuliakan-Nya untuk memberi syafaat, dan yang akan memberi syafaat tidak memulai memberi syafaat sebelum mendapat izin-Nya. Aza/ bersambung SUDAH menjadi kelaziman bagi setiap Muslim apabila menjalin pergaulan dengan orang lain ialah hendaklah saling bersilaturahim. Salah satunya dengan berkenjung ke rumah. Alangkah lebih baik, ketika hendak berkunjung ke rumah mintalah izin terlebih dahulu atau mengetuk pintu lebih dulu. Meminta izin sebelum masuk rumah, ini adalah satu kewajiban yang merupakan ciri akhlak yang telah ditetapkan oleh Allah dalam al-Qur’an sebagaimana firman-Nya BACA JUGA 11 Cara Bertamu yang Baik dalam Islam “Wahai orang orang yang beriman janganlah kamu masuk ke dalam rumah yang bukan rumah kamu sehinggalah kamu meminta izin dan memberi salam ke atas ahli keluarga rurnah tersebut yang demikian itu adalah febih baik semoga kamu dapat mengambil peringatan,” QS. An-Nur 27. Lantas bagaimana cara kita meminta izin ketika bertamu atau berkunjung kerumah orang lain yang telah ditetapkan dalam Alquran. Mau tahu ini dia Dalam Alquran telah dijelaskan bahwa cara meminta izin ketika bertamu yang baik dengan memberi salam sebanyak tiga kali kepada yang punya rumah. Kenapa harus tiga kali? Sebab, dengan memberi salam tiga kali ini memberikan kesempatan kepada yang bertamu, siapa tahu yang punya rumah tidak terdengar kalau satu kali, saja! Nah, kalau kita sudah diberi izin masuk rumah, hendaklah masuk dengan baik. Dan seandainya tidak diberi izin, maka hendaklah pulang dengan cara yang baik tanpa ada prasangka yang buruk Suuzon kepada yang punya rumah. Karena mungkin pemilik rumah mempunyai sebab-sebab tertentu yang menyebabkan dia menolak kedatangan seseorang. BACA JUGA Muslim, Begini Adab Memuliakan Tamu dalam Islam Mengambil langkah untuk pulang ini memang disuruh oleh Allah SWT kepada hamba-Nya. Allah SWT berfirman, “Dan jika dikatakan kepadamu untuk pulang, maka hendaklah kamu pulang karena ini adalah sebijak bijak tindakan bagimu, dan Allah amat mengetahui dengan apa yang kamu lakukan,” QS. Al-Nur 28. Karenanya jadilah seorang tamu yang baik dan memiliki adab bertamu yang baik pula. Jikalau diberi izin untuk masuk, maka menjadilah seorang tamu yang baik yang tidak merepotkan yang punya rumah. Jangan mentang-mentang “tamu adalah raja” kita bisa berbuat semaunya. [] Referensi Adab Pergaulan Menurut Dalil Al-Quran Dan Al-Sunnah/ Dr. Rokiah Ahmad MEMBAHAS masalah ini, perlu kiranya dilakukan secara lengkap. Tidak hanya sisi sanadnya saja, akan tetapi juga dari sisi hukum boleh tidaknya mengutip atau menyampaikannya dalam rangka memberikan tarhib menakut-nakuti. Jika kita hanya membeberkan dari sisi sanadnya saja, ada kesan seolah orang yang mengutip atau menyampaikannya tersalah. Padahal belum tentu demikian. Yang kami saksikan, sebagian da’i baru membahas dari sisi pertama saja, belum dilanjutkan kepada sisi kedua. Dua pembahasan ini sebenarnya bisa dikatakan satu paket’. Jika sampaikan beriringan komplit, insya Allah akan memberikan pecerahan yang sempurna kepada umat. Imam Ahmad telah meriwayatkan dalam “Musnad”-nya , dari Umar bin Al-Khathab –radhiallahu anhu- beliau berkata, Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- bersabda لَيْسَ مِنْ لَيْلَةٍ إِلَّا وَالْبَحْرُ يُشْرِفُ فِيهَا ثَلاثَ مَرَّاتٍ عَلَى الْأَرْضِ، يَسْتَأْذِنُ اللهَ فِي أَنْ يَنْفَضِخَ عَلَيْهِمْ، فَيَكُفُّهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ “Tidak ada satu malam-pun, kecuali di dalamnya lautan mendekat ke bumi tiga kali, meminta ijin kepada Allah untuk membanjiri/menenggelamkan mereka. Maka Allah -Azza wa Jalla- menahannya.” [Musnad 303/1/395] BACA JUGA Bagaimana Cara Menyikapi Hadits yang Berbeda-beda? Hadits ini, secara sanad dhaif lemah. Ada beberapa sisi kelemahannya, yaitu 1. Guru Al-Awwam bin Hausyab seorang rawi yang majhul tidak diketahui, 2. Abu Shalih maula Umar bin Al-Khathab juga majhul tidak diketahui. simak Tahqiqul Musnad oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth –rahimahullah- 1/395 penerbit Muassasah Ar-Risalah tahun 1412 H. Jika kita telah ketahui, bahwa hadits di atas lemah, kita akan lanjutkan ke masalah yang kedua, yaitu bolehkah menyampaikan atau mengutip hadits ini dalam bab tarhib menakut-nakuti ? Jumhur ulama’ mayoritas ulama’ berpendapat bolehnya menyampaikan atau mengamalkan hadits dhaif lemah dalam bab zuhud, raqaiq, targhib dan tarhib, adab, keutamaan amalan, hukuman, dan yang semakna dengan hal ini. Adapun dalam bab selain itu, seperti dalam perkara hukum halal-haram dan masalah aqidah, maka tidak diperbolehkan. Hal ini bisa kita saksikan dari tindakan para imam ahli hadits dimana mereka tidak menyaratkan keshahihan atau kehasanan di dalam kitab-kitab dan riwayat-riwayat mereka dalam pembahasan adab, zuhud dan yang serupa dengan hal itu. Bahkan mereka mengeluarkan di dalam kitab-kitab tersebut hadits-hadits lemah yang cukup banyak. Sebagaimana hal itu dapat disaksikan dalam kitab “Az-Zuhud” karya Imam Ahmad, kitab “Az-Zuhud wa Ar-Raqoiq” karnya Imam Abdullah bin Al-Mubarok –rahimahumallohu Ta’ala- serta kitab-kitab yang banyak dari selain keduanya. Dalam “Shahih Al-Bukhari”, Imam Al-Bukhari begitu ketat dalam periwayatan hadits-hadits hukum dan aqidah. Tidaklah beliau menyebutkan di dalamnya kecuali hadits-hadits shahih saja. Namun tidak begitu dalam kitab “Al-Adabul Mufrad”. Beliau menyebutkan sejumlah hadits-hadits dhaif di dalamnya. Karena kitab ini berbicara dalam masalah adab. Hadits-hadits dhaif itu-pun beliau buatkan judul bab yang merupakan hasil istimbath beliau darinya. Imam An-Nawawi –rahimahullah- wafat 676 H berkata قَالَ الْعُلَمَاءُ الْحَدِيثُ ثَلَاثَةُ أَقْسَامٍ صَحِيحٌ وَحَسَنٌ وَضَعِيفٌ قَالُوا وَإِنَّمَا يَجُوزُ الِاحْتِجَاجُ مِنْ الْحَدِيثِ فِي الْأَحْكَامِ بِالْحَدِيثِ الصَّحِيحِ أَوْ الْحَسَنِ فَأَمَّا الضَّعِيفُ فَلَا يَجُوزُ الِاحْتِجَاجُ بِهِ فِي الْأَحْكَامِ وَالْعَقَائِدِ وَتَجُوزُ رِوَايَتُهُ وَالْعَمَلُ بِهِ فِي غَيْرِ الْأَحْكَامِ كَالْقَصَصِ وَفَضَائِلِ الْأَعْمَالِ وَالتَّرْغِيبِ وَالتَّرْهِيبِ “Para ulama’ menyatakan, hadits ada tiga macam shahih, hasan, dan dhaif lemah. Mereka berkata Berhujjah dalam masalah hukum-hukum hanyalah dibolehkan dengan hadits shahih atau hasan. Adapun hadits dhaif, maka tidak boleh dipakai berhujjah dalam masalah hukum dan aqidah. Akan tetapi BOLEH untuk meriwayatkan dan mengamalkannya pada selain masalah hukum-hukum seperti kisah-kisah, fadhailul a’mal keutamaan amalan, targhib pemberian dorongan, dan tarhib pemberian ancaman/untuk menakut-nakuti.” [Majum’ Syarhul Muhadzdzab 1/59]. Bahkan dalam halaman lain, beliau –rahimahullah- menukil adanya ittifaq kesepatakan ulama akan bolehnya hal ini. Beliau berkata وقد قدمنا اتِّفَاقَ الْعُلَمَاءِ عَلَى الْعَمَلِ بِالْحَدِيثِ الضَّعِيفِ فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ دُونَ الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ “Sungguh kami telah kemukakan kesepakatan ulama’ akan bolehnya beramal dengan hadits dhaif lemah dalam bab fadhailul a’mal keutamaan amalan, tanpa adanya pembolehan dalam masalah halal dan haram.”[ Majum’ Syarhul Muhadzdzab 3/248]. Syaikh Muhaddits Abdul Fattah Abu Guddah -rahimahullah- berkata “Imam Al-Khathib Al-Baghdadi –rahimahullah- telah meriiwayatkan dalam kitab “Al-Kifayah” dengan sanadnya dari Imam Ahmad bin Hambal –rahimahullah-, sesungguhnnya beliau berkata “Apabila kami meriwayatkan dari Rosulullah –shollallahu alaihi wa sallam- dalam bab halal dan haram, dalam sunah-sunah dan hukum-hukum, maka kami sangat ketat dalam masalah sanad-sanadnya. Tapi apabila kami meriwayatkan dari Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- dalam fadhoilul a’mal keutamaan amalan-amalan, dan dalam apa yang tidak meletakkan suatu hukum serta tidak mengangkat suatu hukum, maka bermudah-mudah dalam sanad-sanadnya.” Al-Baihaqi telah meriwayatkan dalam “Al-Madkhal Lid Dalailun Nubuwah” dengan sanadnya dari Imam Abdurrahman bin Mahdi, sesungguhnya beliau berkata “Apabila kami meriwayatkan dari masalah pahala, hukuman, dan keutamaan amalan-amalan, kami bermudah-mudah dalam sanad-sanadnya dan memberikan toleransi dalam rawi-rawinya. Tapi jika kami meriwayatkan dalam masalah halal dan haram serta dalam masalah hukum-hukum, maka sangat ketat dalam masalah sanadnya dan kami saring benar rawi-rawinya.” [Syaikh Muhaddits Abdul Fattah Abu Guddah dalam “taqdim” beliau kepada kitab “Al-Adabul Mufrad”]. BACA JUGA Menghukumi Hadits, Siapakah yang Layak Melakukannya? شَرْطُ الْعَمَلِ بِالْحَدِيثِ الضَّعِيفِ فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ أَنْ لَا يَكُونَ شَدِيدَ الضَّعْفِ، وَأَنْ يَدْخُلَ تَحْتَ أَصْلٍ عَامٍّ، وَأَنْ لَا يُعْتَقَدَ سُنِّيَّتُهُ بِذَلِكَ الْحَدِيثِ Menurut Al-Khathib Asy-Syirbini –rahimahullah-, syarat mengamalkan hadits dhaif dalam fadhailul a’mal ada tiga 1. Kelemahannya tidak parah, 2. Masuk di bawah asal/induk dalil yang bersifat umum, 3. Tidak menyakini akan kesunnahannya dengan hadits dhaif tersebut. [ Mughni Muhtaj 1/194 ]. Selain imam Ahmad, hadits ini juga dikutip oleh Imam Ibnu Katsir dalam tafsir-nya ketika menjelaskan firman Allah dalam surat “Ath-Thur” ayat 6 Tafsir Ibnu Katsir 7/400]. Dengan demikian, mengutip atau menyampaikan hadits di atas dalam rangka untuk memberikan tarhib kepada manusia merupakan perkara yang diperbolehkan. Sehingga menurut hemat kami, menyalahkan secara sepihak orang-orang yang menyampaikannya apalagi diiringi dengan kalimat-kalimat ejekan seperti “bodoh”, atau “tukang dongeng”, atau yang semisalnya merupakan perkara yang tidak pantas. Karena konsekwensi ucapan ini, juga akan mengenai para imam, seperti imam Ahmad, Ibnu katsir, dan selainnya. Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita sekalian. [] Facebook Abdullah Al Jirani